Thailand Hari Keempat - Chiang Mai: Rose From The North
Masjid An-Nur, hanya 100 meter dari Cha Puak Gate kota tua |
Chiang Mai Train Station |
Ahad, 21 april 2013. "Welcome to Chiang Mai" sebuah papan menyambut kami dengan tulisan tersebut saat kereta yang kami tumpangi tiba dengan selamat di Chiang Mai Train Station. Alhamdulillah setelah perjalanan selama hampir 14 jam yang melelahkan di dalam sleeping train mulai dari Bangkok, sampailah kita di kota kedua di tujuan backpacking Thailand saya. Ya saya, teman setia saya si Yudha menyerahkan segala tujuan destinasi wisatanya sama saya, so sayalah yang mengatur itinerary nya. Haha... Sebab bagi Yudha yang penting dia traveling dan bisa jauh dari rutinitas kerjaan, sama persis seperti saya. Makanya saya paham banget seperti apa yang dia mau.
Sekilas seputar Chiang Mai, kota ini merupakan kota terbesar kedua di Thailand dan kota terbesar di utara Thailand. Kota yang letaknya di kelilingi pegunungan ini memiliki iklim yang lebih sejuk sepanjang tahun dibandingkan dengan kota2 lain di Thailand sekalipun sedang puncak musim panas di bulan april dan mei. Kecantikan kota ini menjadikan Chiang Mai mendapat julukan "Rose From The North". Beberapa alasannya karena di kota ini terdapat taman bunga terbesar di Thailand, kecantikan alamnya yang masih terjaga alami, termasuk adanya istana musim panas milik keluarga kerajaan Thailand yang tamannya mengoleksi bunga2 langka dari berbagai negara termasuk bunga sakura dari Jepang yang dapat tumbuh subur di tempat ini. Ada juga di taman kerajaan ini jenis tanaman bambu yang konon memiliki diameter batang terbesar di dunia.
Kembali ke kisah backpacking saya. Semalaman nahan aus dan laper yang cuma diganjel segelas jus jeruk sama permen jahe. Lantas tujuan pertama kita setelah keluar stasiun adalah nyari Sevel buat beli air minum dan cemilan. Sebelum naik angkutan ke tengah kota, foto2 dulu sejenak di depan stasiun. Hehe, narsis itu perlu, kapan lagi kan bisa sampe sini. Berhubung hari makin siang dan jarak stasiun yang mencapai hampir 3km dari pusat kota, kami pun buru2 cari songthaew ( angkutan lokal ) berwarna merah yang menuju guesthouse yang berlokasi di tengah kota. Ada yang lucu saat kita naik songthaew, saya dan Yudha asal saja bilang Tha Phae Gate ke kondektur yang ada di kursi depan lalu kita naik dari belakang songthaew yang berjalan pelan.
Rupanya didalam sudah ada sepasang turis asia yang membooking songthaew tersebut. Sumpah gak enak ati banget sama mereka bedua meskipun tampak mengiyakan kehadiran kami tapi tampak juga senyum keterpaksaan dari keduanya. Sadar ada yang gak beres, songthaew pun berhenti dan perempuan yang jadi kondektur songthaew itu turun lalu nyamperin saya. Dia bertanya tujuan kita dan memberi tahu tarif yang harus dibayar sebesar 40 baht per orang untuk sampai ke Tha Phae Gate. Ok deal dan songthaew pun kembali berangkat. Oia hampir lupa ngasih tau, songthaew itu bentuknya persis seperti bemo kalau di Jakarta yang dapat menampung penumpang 6-8 orang di bagian belakang.
Rupanya didalam sudah ada sepasang turis asia yang membooking songthaew tersebut. Sumpah gak enak ati banget sama mereka bedua meskipun tampak mengiyakan kehadiran kami tapi tampak juga senyum keterpaksaan dari keduanya. Sadar ada yang gak beres, songthaew pun berhenti dan perempuan yang jadi kondektur songthaew itu turun lalu nyamperin saya. Dia bertanya tujuan kita dan memberi tahu tarif yang harus dibayar sebesar 40 baht per orang untuk sampai ke Tha Phae Gate. Ok deal dan songthaew pun kembali berangkat. Oia hampir lupa ngasih tau, songthaew itu bentuknya persis seperti bemo kalau di Jakarta yang dapat menampung penumpang 6-8 orang di bagian belakang.
Songthaew terlebih dahulu mengantar penumpang ke penginapannya tepat di sisi sungai Ping sebelum akhirnya mengantar kita menuju Tha Phae Gate yang berjarak sekitar 2km. Kota utama Chiang Mai dikelilingi oleh parit yang dahulu ditutup dengan tembok besar yang melingkar, namun kini hanya tinggal beberapa sisi tembok saja yang masih tersisa, salah satunya tembok pada bagian Tha Phae Gate ini. Yang membuat saya tertarik dengan Tha Phae Gate ini adalah karena di lokasi ini pernah menjadi tempat shooting film Thailand yang dibintangi aktor favorit saya Mario Maurer dan Natcha Jantapan dalam film "My True Friend" atau dalam bahasa Thailand disebut Mueng Gu.
Dari Tha Phae Gate kita masih berjalan lagi hampir sekilo lagi menuju Julie's Guesthouse tempat kita bakal stay satu malam di kota ini. Perjalanan menuju guesthouse hanya berdasarkan ingatan saya yang melihat google map sebelum berangkat. Rupanya ada perbedaan alamat antara website dan realnya. Di website tertulis Phrapoklao Road soi. 5 sama yang saya lihat di google map, ternyata itu jalan buntu sehingga kami masuk dari soi. 6 dengan papan nama Julie's yang terpasang di di pinggir jalan. Sebenarnya kesalahan si Julie's guesthouse adalah perubahan penempatan papan nama dari soi. 5 ke soi. 6 yang tidak mereka rubah di website, sehingga kami pun jadi sedikit lelah karena sudah berjalan cukup jauh.
Dari Tha Phae Gate kita masih berjalan lagi hampir sekilo lagi menuju Julie's Guesthouse tempat kita bakal stay satu malam di kota ini. Perjalanan menuju guesthouse hanya berdasarkan ingatan saya yang melihat google map sebelum berangkat. Rupanya ada perbedaan alamat antara website dan realnya. Di website tertulis Phrapoklao Road soi. 5 sama yang saya lihat di google map, ternyata itu jalan buntu sehingga kami masuk dari soi. 6 dengan papan nama Julie's yang terpasang di di pinggir jalan. Sebenarnya kesalahan si Julie's guesthouse adalah perubahan penempatan papan nama dari soi. 5 ke soi. 6 yang tidak mereka rubah di website, sehingga kami pun jadi sedikit lelah karena sudah berjalan cukup jauh.
Double Room Julie's Guesthouse |
Namun petugas guesthouse menyadari ke kita kalau mungkin makanan yang tersedia kurang cocok dengan lidah asia karena mereka menyajikan menu barat sesuai dgn mayoritas tamu di sini. Pemilik guesthouse ini adalah pria berkebangsaan Jerman yang menetap di Chiang Mai dan hanya memiliki sedikit staff warga asli Thailand. Setelah bersantai sejenak melepas lelah, kita lalu bersiap menuju tujuan wisata selanjutnya agar tidak terlalu siang.
Wat Chiang Man dan Wat Chedi Luang, saksi bisu yang menjadi landmark kota |
Lanjut ke tujuan selanjutnya menuju Doi Suthep. Tapi sebelum sampai tujuan, saya mampir sejenak ke beberapa lokasi menarik seperti kuil kayu jati Wat Phan Tao, sholat dzuhur di Masjid An-Nur dekat gerbang utara kota tua atau dikenal dengan nama Cha Puak Gate. Barulah selesai sholat dari gerbang utara itu saya naik songthaew sampai Chiang Mai Zoo dengan tarif 30 baht, nyambung shongthaew lagi sampai Doi Suthep 60 baht. Tanpa pikir panjang, saya dan Yudha langsung menuju loket. Saya lupa kasih tau Yudha kalo kita gak perlu beli tiket masuk, dan seperti sudah paham dia pun belinya cuma tiket elevator seharga 30 baht/orang buat naik ke puncak bukit saja padahal dia sendiri gak tau kalo masuknya pake tiket khusus turis.
Karena tidak ada penjagaan tiket yang ketat ditambah wajah yang gak beda jauh sama orang Thailand, ya kita adem ayem aja masuk ke komplek kuilnya. haha, sayang juga kan cuma mau liat kuil harus keluar duit, ngirit boss.... Kalau kita gak naik elevator, ada 200 anak tangga yang siap kita tapaki. Tapi tar dulu dech, mau wisata jangan capek dulu nanti pulangnya aja baru lewat tangga. Saat sampai di atas kita gak langsung menuju kuil utama, tetapi ada pelataran luas yang mengelilingi komplek kuil dilengkapi dengan berbagai fasilitas ibadah umat budha hingga kebutuhan pengunjung seperti toilet, rumah makan dan toko souvenir. Beberapa hal menarik di pelataran ini adalah adanya sudut pandang bagi kita untuk melihat keseluruhan pusat kota Chiang Mai dari ketinggian lengkap dengan airport beserta pesawat yang berseliweran.
Sayangnya siang itu agak berkabut jadi gak tampak jelas pemandangan kotanya. Selain itu di komplek kuil ini terdapat patung gajah putih yang menjadi legenda negara Thailand, disinilah asal muasal legenda tersebut. Sejarah singkatnya jaman dulu ditemukan relik yang dipercaya sebagai tulang punggung sang Budha, maka raja menyuruh gajah putih itu untuk membawanya dan dibiarkan hingga mati, ternyata di Doi Suthep inilah gajah itu mati dan raja pun memerintahkan untuk dibuatkan kuil di tempat gajah itu mati dan sebagai tempat menyimpan relik tersebut, maka kuil ini pun menjadi salah satu kuil yang disucikan di Thailand dan dikunjungi oleh umat Budha dari penjuru negeri bahkan negara lain untuk beribadah.
Wat Doi Suthep, disinilah legenda gajah putih itu berasal |
Sayangnya siang itu agak berkabut jadi gak tampak jelas pemandangan kotanya. Selain itu di komplek kuil ini terdapat patung gajah putih yang menjadi legenda negara Thailand, disinilah asal muasal legenda tersebut. Sejarah singkatnya jaman dulu ditemukan relik yang dipercaya sebagai tulang punggung sang Budha, maka raja menyuruh gajah putih itu untuk membawanya dan dibiarkan hingga mati, ternyata di Doi Suthep inilah gajah itu mati dan raja pun memerintahkan untuk dibuatkan kuil di tempat gajah itu mati dan sebagai tempat menyimpan relik tersebut, maka kuil ini pun menjadi salah satu kuil yang disucikan di Thailand dan dikunjungi oleh umat Budha dari penjuru negeri bahkan negara lain untuk beribadah.
Menuju kuil utama di pelataran bagian atas, kita diharuskan melepas alas kaki dan menahan panasnya ubin kala di injek. Bangunan ibadah utama berupa chedi atau stupa berlapis emas. Pengunjung yang beribadah dengan mengelilingi stupa yang di sekitarnya juga dilengkapi dengan ruangan2 berdoa bersama para biksu, puluhan patung Buddha dalam beberapa posisi, terdapat pula 2 patung Buddha istimewa yang terbuat dari batu giok hijau dan batu marmer. Gak berlama2 diatas kita kembali turun, sejenak keliling pelataran sambil menikmati penampilan tarian dari adik2 dari suku Hmong penduduk di pegunungan Chiang Mai, baruah setelah itu kita turun ke pintu masuk bukit dengan menuruni sekitar 200 anak tangga. Beli wafel untuk ganjal perut seharga 15 baht trus kembali menaiki songthaew seharga 60 baht menuju pusat kota dan turun di Cha Puak Gate.
Sebelum kembali ke guesthouse, kita mampir lagi ke Masjid An-Nur untuk menunaikan sholat ashar. Selesai wudhu ada seorang bapak yang mengucapkan salam lalu bertanya "Apa kabar?" kepada Yudha, setelah dijawab saya pun bertanya balik apa dia bisa bahasa melayu, ternyata dia orang asli Chiang Mai dan mengatakan kalau orang Indonesia sudah famous disini. Subhanallah, senangnya mendapat perhatian khusus di negeri orang, apalagi kita sama2 terikat dalam persaudaraan sesama muslim meskipun berbeda negara. Sepanjang perjalanan menuju guesthouse, kita kembali mengunjungi beberapa spot menarik di dalam kota tua. Pertama kita mengunjungi kuil tertua di Chiang Mai yang bahkan lebih lebih tua dari kota tersebut, yaitu Wat Chiang Man yang bangunannya berupa kuil dan sebuah stupa besar di belakangnya. Saking tuanya, bangunan di kuil ini menjadi salah satu dari sedikit bangunan bergaya Lanna asli yang masih tersisa.
Sayang sekali waktu saya kesana sudah lewat jam 5 sore, walhasil aktifitas sudah sepi dan bangunan kuil pun sudah ditutup. Lanjut berjalan di pusat kota, saya kembali berhenti di depan patung 3 raja yang pernah berkuasa di Chiang Mai dengan latar belakang sebuah bangunan kolonial yang menjadi Chiang Mai Art and Cultural Center. Kebetulan sore itu sedang ada kompetisi membunyikan alat musik tradisional yang mirip sekali dengan bedug di Indonesia, pesertanya berasal dari beberapa kuil maupun instansi agama Buddha di sana yang tampak jelas dari pakaian para biksu yang menjadi pesertanya. Di seberang patung 3 raja tersebut juga terdapat bangunan yang menjadi Lanna Folklife Museum.
Sayang sekali waktu saya kesana sudah lewat jam 5 sore, walhasil aktifitas sudah sepi dan bangunan kuil pun sudah ditutup. Lanjut berjalan di pusat kota, saya kembali berhenti di depan patung 3 raja yang pernah berkuasa di Chiang Mai dengan latar belakang sebuah bangunan kolonial yang menjadi Chiang Mai Art and Cultural Center. Kebetulan sore itu sedang ada kompetisi membunyikan alat musik tradisional yang mirip sekali dengan bedug di Indonesia, pesertanya berasal dari beberapa kuil maupun instansi agama Buddha di sana yang tampak jelas dari pakaian para biksu yang menjadi pesertanya. Di seberang patung 3 raja tersebut juga terdapat bangunan yang menjadi Lanna Folklife Museum.
Sesuai tujuan saya datang ke Chiang Mai di hari minggu, para pedagang di sunday walking market sudah banyak yang mulai membuka lapak dagangannya. Sore itu pula rupanya sedang ada acara pekan budaya Chiang Mai yang menampilkan pawai budaya, pakaian tardisonal, tarian, serta makanan khas. Wah beruntungnya saya bisa melihat berbagai kebudayaan Chiang Mai dalam kunjungan perdana ini. Sayangnya rintik2 hujan mulai turun sore itu dan saya serta Yudha segera kembali ke guesthouse untuk bersih2 sejenak dan kembali ke dalam keramaian kota di malam hari. Rupanya hujan semakin besar, sampai selesai sholat maghrib dan hampir jam 7 malam hujan tak juga reda. Saat sampai di kamar, ada surat yang tertempel di pintu yang berisi jika kita belum sempat check in dan kita disuruh mengurus ke front office dengan membawa passport kita berdua. Yudha yang mengurus check in kamar kita sambil bertanya kepada petugasnya bagaimana dengan sunday walking market yang di guyur hujan, dan jawabannya adalah the show must go on. Oh ok, gerimis semakin reda dan tanpa pikir panjang lagi kita pun berangkat dengan harapan menemukan barang2 unik yang sulit didapat di daerah lain.
Sunday Walking Market, terbentang produk murah meriah |
Oke, keliling2 pasar malem akhirnya kita makan dulu. Yudha beli snack khas Chiang Mai yang manis, sedangkan saya beli gurita panggang dengan sambal hijau yang buset dahh pedesnyaa gilaaaa... Akhirnya kita nemu penjual minuman buat ngeredain bibir yang panas. Yudha beli segelas blueberry tea dan saya herbal tea berwarna hijau pekat seperti jamu tapi lenih enak dari yang yudha beli. Murah banget harganya segelas gede cuma 10 baht aja. Ok selesai makan lanjut cari belanjaan, baru dapat 2 potong celana pendek yang lucu banget buat cowok dan oleh2 1 tas tenteng perempuan kita masuk ke salah satu kuil yang dijadikan area penjual makanan akhirnya kita makan lagi nasi goreng dengan mix tempura. Total harganya 80 baht, yang buat istimewa adalah kita beli di satu2nya penjual makanannya dari keluarga muslim. Subhanallah, itung2 berbagi dan bersilaturahim dengan sesama muslim, dan memastikan diri jika makanan yang masuk ke perut kita adalah makanan halal. Sayangnya makan kali ini tidak habis karena sudah begah banget ini perut. Saatnya lanjut belanja...
Waktu sudah lebih dari jam 10 malam, satu per satu pedagang sudah mulai menutup lapaknya. Saatnya kita kembali ke guesthouse. Cek cek belanjaan, banyak juga ternyata belanjaan 2 pria lajang ini hahaha. Yudha membeli beberapa snack seperti kripik durian monthong, snack ikan, 2 gelang handmade suku hmong, 3 shall buat oleh2 dan 1 potong celana pendek. Dan saya belanja 1 celana pendek, 2 kaos bertuliskan Chiang Mai dan tas bordiran buat nyokap, selebihnya kita banyak beli makanan. Hmmm, puas sudah keliling2 pasar malam murah meriah Chiang Mai. Saatnya kembali istirahat buat ngumpulin tenaga ke kota selanjutnya esok hari. Kemana tujuan kita berikutnya? Chiang Rai..... yippy sangat ingin sekali saya ke sana. Ok, selamat tidur...
Koleksi foto lain di Chiang Mai silahkan lihat di sini atau klik ini.
Rincian pengeluaran hari keempat :
- Transport Songthaew = 190 THB
- Elevator Doi Suthep = 30 THB
- Makanan = 133 THB
- Belanja = 595 THB
Total = 948 THB
salam kenal,
BalasHapusmas Deni saya mau tanya kl angkutan shongthaew itu rutenya sudah jelas atau berdasarkan request dari kita? karena saya masih kesulitan untuk mencari transport dari kota lama ke doi shutep, seperti harus naik shonthaew nomor berapa, naik dimana dan harganya..
Rencana minggu ini saya mau ke chiang mai lanjut k chiang rai.
terima kasih sebelumnya